Sejarah Pemberian Beasiswa di Indonesia : Masa Sebelum Kemerdekaan

4686549-1

Puslapdik– Pemberian beasiswa merupakan salah satu solusi memutus mata rantai kemiskinan. Hal itu dapat dimaknai, bahwa beasiswa adalah upaya pemerintah dalam meningkatkan sumber daya manusia unggul yang ujungnya berkontribusi terhadap menurunnya angka kemiskinan sehingga kemakmuran rakyat terwujud. Demikian ditulis Abdul Kahar, Kepala Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (Puslapdik) Kemendikbudristek, dalam bukunya “Pemutus Mata Rantai Kemiskinan” (2021).

Dengan dasar itulah, melalui payung hukum berupa amanah Undang-Undang dasar 1945 amandemen IV tahun 2002, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. UU tersebut, salah satu pasalnya menyebutkan pemberian beasiswa menjadi salah satu instrumen pembiayaan pendidikan selain yang dialokasikan pemerintah melalui APBN dan APBD.

Namun, sejatinya, sejarah pemberian beasiswa di Indonesia telah terentang jauh sebelumnya, sejak pemerintahan Presiden Soekarno. Bahkan, suka tidak suka, pemberian beasiswa kepada rakyat Indonesia telah dilakukan oleh beberapa individu dari Belanda, sejak sebelum kemerdekaan. Salah satu yang tercatat dalam sejarah adalah program beasiswa yang digagas oleh pasangan suami istri, Conrad T. (‘Coen’) van Deventer,  seorang lulusan dari Fakultas Hukum Universitas Leiden, bersama istrinya, Elisabeth M. (Betsy) Maas. Sejak tahun 1881, Van Deventer merupakan sahabat dekat Bupati Jepara, ayahnya RA Kartini.

Politik etis Belanda

Seperti dikutip dari laman vandeventermaas.or.id., Tahun 1899, van Deventer menerbitkan artikel yang berjudul ‘Een eereschuld’ (‘utang kehormatan’) dalam jurnal De Gids. Dalam tulisannya, Van Deventer menulis, bahwa Belanda yang telah menjajah Indonesia dalam waktu yang lama, memiliki kewajiban moral melakukan investasi berskala besar untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Karena tulisannya itu, Van Deventer menjadi juru bicara utama untuk ‘Politik Etis’ pemerintah Belanda dan pada tahun 1905 terpilih sebagai Anggota Parlemen Belanda.

Pada tahun 1912, Coen dan Betsy menegaskan kembali komitmennya untuk membantu rakyat Indonesia memperoleh kesempatan pendidikan yang baik. Terpengaruh oleh perjuangan RA Kartini, Van Deventer, Betsy, serta teman-teman mereka mengumpulkan dana untuk membangun empat yayasan: Yayasan Kartini, Yayasan Van Deventer, Yayasan Tjandi dan Yayasan Max Havelaar yang semuanya bertujuan untuk mempromosikan pendidikan Indonesia.

Bila Yayasan Van Deventer berkegiatan memberikan beasiswa untuk perempuan Indonesia di jenjang sekolah menengah, maka Yayasan Max Havelaar dan Yayasan Tjandi pada saat itu memberikan dukungan berupa pinjaman bebas bunga untuk sebagian kecil mahasiswa muda Indonesia untuk belajar di Belanda. Melalui beasiswa yang diberikan oleh kedua  yayasan tersebut, ada sekitar 50 pemuda Indonesia yang berkesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi di Belanda. Adapun sumber dana beasiswa adalah sumbangan rutin donatur dan subsidi pemerintah Belanda.

Ada sebuah cerita lain mengenai beasiswa di jaman Hindia Belanda ini. Cerita tentang RA Kartini. Ia punya keinginannya untuk menempuh pendidikan sangat kuat. Dia ingin ke Belanda. Peluangnya mengecap pendidikan di Belanda sempat terbuka setelah perkenalannya dengan Jacques Henrij Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda. JH Abendanon menerima permohonan beasiswa dari RA Kartini itu.

Namun, setelah berbagai pertimbangan, Kartini membatalkan beasiswa tersebut dan memberikannya pada Agus Salim yang dikemudian hari dikenal sebagai salah seorang pahlawan. Dia juga merupakan pemimpin Sarekat Islam.

Memang Agus Salim sendiri, saat itu sedang berusaha mendapatkan beasiswa ke Belanda. Namun, niat baik Kartini itu ditolak Agus Salim sebab ia menganggap, pemberian itu karena usul orang lain, bukan karena penghargaan atas kecerdasan dan jerih payahnya. Dia menilai ada diskriminasi di dalamnya. Agus Salim menolak beasiswa itu.

 Prioritaskan perempuan

Sampai saat ini, Yayasan Van Deventer yang telah berubah nama menjadi Yayasan Van Deventer-Maas Indonesia (VDMI)  dan berlokasi dan Yogyakarta. VDMI memiliki tujuan utama untuk meningkatkan penyediaan pendidikan, dan pengembangan serta pendidikan Indonesia, khususnya pendidikan untuk perempuan Indonesia.

Menurut laman vandeventermaas.or.id., VDMS menyediakan sekitar 800 beasiswa setiap tahun untuk muda-mudi Indonesia yang berbakat dari latar belakang keluarga sederhana di 35 universitas dan satu sekolah menengah. VDMS juga menyediakan kursus singkat kepada penerima beasiswa untuk meningkatkan soft skill mereka (yaitu kemampuan pribadi, sosial dan intelektual) dan kemungkinan masuk ke pasar kerja.

Dalam catatan sejarah, Wakil Presiden pertama Indonesia, Mohammad Hatta dan Prof. Tjondronegoro, guru besar sosiologi IPB, merupakan salah satu penerima beasiswa ini. Kakak kandung RA Kartini, RMP Sosrokartono, bisa dikatakan orang Indonesia pertama yang kuliah di Belanda.

Penerima beasiswa lain dari yayasan Van Deventer ini antara lain adalah Prof. Iso Reksohadiprodjo, seorang ahli ekonomi pertanian pertama di Indonesia dan pelukis Basoeki Abdoellah.

Ikut dalam pergerakan nasional

Sebagian para penerima beasiswa dari pemerintah Belanda tercatat ikut bergiat dalam pergerakan nasional yang mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Mereka, secara diam-diam maupun terbuka, tak selalu setuju dengan kebijakan pemerintah kolonial—bahkan sejak masih menempuh pendidikan. Beberapa nama yang bisa disebut sebagai contoh adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum alias Recht Hoge School (RHS) Batavia, seperti Amir Sjarifoeddin (1907-1948) dan Wilopo (1909-1981).

Dikutip dari laman tirto.id., Garry van Klinken dalam buku 5 Penggerak Bangsa Yang Terlupa: Nasionalisme Minoritas Kristen (2010: 172) menyebut, selama Amir kuliah di RHS,ia bergabung dengan organisasi Jong Batak dan pernah jadi bendahara saat penyelenggaraan Kongres Pemuda II pada 1928 di Batavia. Jacques Lecrec dalam buku Amir Sjarifuddin: Antara Negara dan Revolusi (1996) juga mencatat bahwa Amir menjadi propagandis dari Partai Indonesia (Partindo) dan aktif di lingkaran diskusi kelompok mahasiswa Kristen.

Begitu juga dengan Wilopo sebagai penerima beasiswa sejak bersekolah tingkat menengah hingga jadi mahasiswa. Wilopo yang dalam pemerintahan Soekarno menjadi salah satu Perdana Menteri Indonesia ini menyimpan ketertarikan terhadap pergerakan nasional sejak bersekolah tingkat menengah.

Aktivis pergerakan nasional lain yang pernah dapat beasiswa adalah Mohammad Yamin. Namun, beasiswa itu dicabut karena pidato-pidato politiknya yang pedas mengkritik Belanda.

Buku 125 Tahun Pendidikan Dokter di Indonesia 1851-1976 (1976:22) juga menyebut, mahasiswa STOVIA mendapat beasiswa dan diwajibkan menjalani semacam kontrak dinas selama 10 tahun. Konsekuensinya sangat berat jika mereka tidak menepati kewajiban itu karena musti membayar denda 5.800 Gulden. Meskipun begitu, tetap saja ada dokter lulusan STOVIA yang jadi penantang hegemoni kolonialis Hindia Belanda. Di antara mereka itu ada dokter Soetomo, pendiri Boedi Oetomo dan dokter Tjipto Mangoenkoesoemo yang jadi pentolan organisasi radikal Indische Partij.

Jadi, orang-orang yang ikut membangun Republik Indonesia di awal kemerdekaan di antaranya adalah para penerima beasiswa kolonial. Ada pula lulusan STOVIA macam dokter Johannes Leimena yang di masa Revolusi memihak Republik dan jadi Menteri Kesehatan. Lalu ada dokter F.L. Tobing yang jadi perpanjangan tangan pemerintah Indonesia di Sumatra Utara.

Skip to content